Pages

Minggu, 29 Mei 2011

Penari Jalanan


Sunami sedang menari jaipong di pasar lawang, malang
Matahari belum juga menampakan jati dirinya, bahkan mungkin sebagian banyak orang pun masih terlelap dalam tidurnya yang pulas. Namun tidak bagi Sunami yang melakoni kisah hidupnya sebagai seorang penari jaipong jalanan. Pukul empat pagi, wanita berusia 48 tahun ini sudah memulai aktifitas rutinnya, yaitu merias wajahnya dengan alat make up yang entah telah berapa lama belum juga tergantikan karna dana yang terbatas.
Hari ini Sunami bersama suaminya Tuwaji akan melakukan perjalanan mengamennya dengan jarak yang lumayan jauh, yaitu Lawang. Sehingga persiapan make up serta peralatan yang akan dibawa dalam bekal mengamen pun harus dipersiapkan sejak pagi hari.
Profesi sebagai penari jalanan telah dilakoni oleh wanita asal Malang ini selama kurang lebih dua belas tahun. Berawal dari himpitan perekonomian yang semakin sulit, serta himpitan hutang yang kian meililit, wanita yang pernah menjalani profesi sebagai pedagang ini pun memutuskan untuk terjun ke jalanan demi mendapatkan beberapa uang logam dari toko ke toko atau dari rumah ke rumah.
Daripada harus mengemis ataupun meminta belas kasihan dari orang lain mas, mending saya mengamen dengan cara menari untuk menyambung hidup mas” begitu ucap Sunami dengan tegas dan penuh keyakinan. Bagi nya, jalanan merupakan pengganti panggung budaya yang kini mulai sepi dan ditinggalkan oleh para masyarakat. Terutama ditengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, sehingga orang lebih memilih untuk menggunakan jasa elektone dalam setiap kegiatan yang akan diadakan. Sehingga Sunami tak bisa hannya mengandalkan dari jasa panggilan semata, dan akhirnya memutuskan untuk turun ke jalan untuk mencukupi kebutuhan sehari–hari.
Dalam sehari mengamen di jalanan, wanita yang mengaku pernah menikah sebanyak delapan kali ini mampu mengumpulkan pendapatan sebanyak Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,-. Itu pun jika tidak terbentur oleh cuaca hujan, sehingga Ia mampu memamfaatkan waktunya semaksimal mungkin dalam menghibur orang yang ditemui selama perjalanan mengamen.
Aktifitas mengamen pun tak bisa setiap hari dilakukan oleh Sunami besarta suaminya. Hal ini disebabkan oleh kondisi mereka yang sudah tidak muda lagi, sehingga terkadang mereka harus mengurungkan niatnya untuk mengamen karna tubuh yang sudah tak mampu lagi menaklukan jalanan. Tak jarang pula Sunami harus melakukan aktifitas nya tanpa ditemani sang suami tercinta, karena kondisi nya yang lemah dan sering terjatuh pingsan saat kelelahan berjalan.
Sunami dan Tuwaji hanyalah satu contoh dari sekian banyak pelaku kesenian budaya, yang terpaksa harus mengorbankan idealismenya dalam mempertahankan budaya lokal karna dibenturkan oleh realitas kehidupan yang ada. Mungkin karna orang–orang seperti merekalah akhirnya kita masih bisa mengenal apa itu tari jaipong, topeng, bantengan, atau budaya – budaya lokal lainnya.

Catatan: Berdasarkan kisah nyata

1 komentar:

  1. Cerita yang bagus, saya Andrew dari DAAI TV Jakarta, apakah saya boleh minta nomor contact person penulis / reporternya? ini nomor saya 0856 409 34 961 , 0822 1314 2362

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, tetapi dengan menjaga kesopanan